Tangkapan layar webinar Goodstats.id.
Aksi agresi-okupansi lsrael ke wilayah Palestina telah memantik empati publik Indonesia. Biro Pusat Statistik Palestina (PCBS) mencatat sejak 7 Oktober 2023 hingga 13 Juli 2024 ada 39.017 korban jiwa, 93.781 orang terluka, dan lebih dari 200.000 orang Palestina yang kehilangan tempat tinggal akibat agresi ini. Ragam dukungan dari berbagai kalangan di Indonesia pun disalurkan dalam aksi konkret, salah satunya pemboikotan atas produk-produk terafiliasi Israel.
Mencermati fenomena tersebut, GoodStats.id media dalam naungan Good News From Indonesia, menggelar online survei dari tanggal 15-28 Juli 2024 yang bertajuk Sikap dan Perilaku Masyarakat Terhadap Aksi Boikot Produk Terafiliasi Israel, dengan melibatkan seribu responden secara daring.
Dalam presentasinya Iip Aditiya dari Goodstats.id menjelaskan tujuan surveinya. “Survei ini bertujuan untuk memahami pandangan, sikap, dan tindakan responden terkait fenomena boikot produk yang ditengarai terafiliasi dengan Israel ini,” jelas Iip dalam webinar presentasi hasil survei yang digelar untuk umum yang diadakan melalui platform Zoom pada Jumat, 23 Agustus pukul 7 malam WIB
Adapun survei dengan seribu responden tersebut dilangsungkan dengan metode penelitian kuantitatif (Online Survey) dengan margin of error 3,1% dan tingkat kepercayaan 95%. Iip menerangkan, sebaran responden survei ini berasal dari Sumatra (15,3%), Kalmantan (4,3%), Jawa (66,1%), Sulawesi (4,5%), Bali-Nusa (6,6%) serta Maluku-Papua (3,2%). Adapun mayoritas tingkat Pendidikan Responden 52,1% Diploma/S1 Sederajat, lalu 34,4% SMA/sederajat dan sisanya S2, SMP dan SD.
Temuan utama dalam survei ini yakni, sebanyak 95,3% responden mengaku mengetahui gerakan boikot ini. Sejalan dengan itu, 70,2% responden menyatakan dukungannya terhadap gerakan boikot ini. “Sebagai wujud nyata dukungannya, 77,2% responden mengaku menghindari produk terafiliasi Israel hingga saat ini,” jelas Iip.

Adapun faktor terbesar yang mendorong orang Indonesia melakukan boikot adalah solidaritas terhadap Palestina (68,1%). Lebih dari 60%% responden mengaku aksi boikot ini mempengaruhi pilihannya dalam berbelanja. “Meski begitu, 20,2% menyatakan tidak terpengaruh menunjukkan masifnya pilihan alternatif pengganti produk boikot di Tanah Air,” urai Iip.
Adapun untuk produk makanan dan minuman menjadi produk utama yang paling banyak diboikot di Indonesia (81,5%). Banyaknya brand makanan dan minuman yang kena aksi boikot membuat produk lokal dipilih konsumen sebagai substitusinya seperti Hoka Bento (24,2%), Richeese Factory (22,1%), hingga Rocket Chicken (20,5%) semakin unjuk gigi.

Sementara untuk kedai kopi. warga lndonesia menggantikan kedai kopi yang diboikot dengan Kopi Kenangan (27,5%), Fore Coffee (22,5%), hingga Point Coffee (15,3%).

Selain itu, produk-produk minuman bersoda pun tak luput dari sasaran boikot masyarakat. Sebagai gantinya, Tebs (19,195) dan Big Cola (17,5%) jadi merek yang paling banyak dipilih masyarakat. Adapun untuk produk air mineral, Le Minerale mencorong menjadi pilihan utama untuk menggantikan AMDK yang diboikot dengan preferensi mencapai 47,4%.

Menanggapi hasil riset ini, Sosiolog UIN Sunan Gunung Jati, Dede Syarif menjelaskan dukungan 70% responden riset terhadap gerakan boikot produk terafiliasi Israel menunjukkan kekuatan gerakan ini. “Ada dua tahap, pertama ekspresif. Orang mengidentifikasi kesesuaian dirinya dengan isu. Dalam hal ini angkanya tinggi sekali, sampai 70%. Dan mungkin akan lebih tinggi jika survei dilakukan pada Oktober 2023 lalu di mana gerakan ini awal mengemuka dengan ikon buah semangka,” jelas Dede.

Kedua tahapan instrumental, yakni orang yang mengidentifikasi driinya memiliki kesamaan isu tidak serta merta memboikot produk yang terafiliasi Israel. Dalam tahapan identifikasi dirinya dengan isu dengan tindakan apakah dirinya akan membeli atau tidak itu situasi yang berbeda. Jadi tidak selalu orang yang memiliki kesamaan isu akan memboikot. “Orang akan memilah boikot pada produk yang ada substitusinya. Seperti apliaksi WhatsApp sulit diboikot karena tidak ada substitusinya,” jelas Dede.
Sementara menurut Dede, produk ekspor unggulan Israel bukanlah makanan dan minuman, melainkan teknologi. “Jadi di aspek itu agak sulit kita melakukan boikot pada produk yang spesifik jadi angka yang tadi saya kira menarik, tapi apa boikot ini akan bertahan lama atau tidak. Pandangan saya ini seberapa kuat media dan medsos mengamplifikasi atau mendengungkan tren ini di masyarakat,” jelas Dede.
Berita baiknya, kata Dede, berkat aksi boikot ini, terjadi pergeseran konsumsi masyarakat ke produk lokal. “Ini berita baiknya,” ungkap Dede.
Adapun Dosen Branding dan Komunikasi dari Universitas Pembangunan Jaya, Algooth Putranto sebagai pemateri kedua di acara yang sama menjelaskan, saat ini lebih mudah melakukan boikot ketimbang 10 tahun yang lalu. “Hal ini disebabkan sudah sangat mudahnya ditemukan produk pengganti yang diobikot,” jelas Algooth.
Selain itu Algooth menilai, brand yang terkena boikot bisa dibilang gagal memenuhi kebutuhan aktualisasi diri dari konsumennya.

Algooth pun menyampaikan harapannya agar gerakan boikot ini terus konsisten. “Sebabnya, jika gerakan boikot bersifat temporer, alias putus sambung, maka hal itu tidak akan mengirimkan pesan kuat kepada para perusahaan yang produknya terafiliasi Israel,” tegas Algooth.
Senada dengan Algooth, Dede menerangkan, gerakan boikot ini mensyaratkan keterlibatan jumlah orang yang banyak, alias masif agar berhasil. “Jadi harus masal, kolektif melibatkan banyak orang. Dan harus jelas tuntutannya. Jangan simbolik. Menghentikan perusahaan publik menghentikan dukungannya kepada Israel,” tegas Dede.